Pidato berani presiden terpilih AS tentang Kanada, Panama, dan Greenland lebih dari sekedar lelucon – ini adalah sebuah peringatan
oleh Cintakamu Bordachev, Direktur Program Klub Valdai
Kontribusi Donald Trump yang paling signifikan terhadap politik dunia sejak terpilih kembali sebagai presiden AS telah memicu kontroversi dengan komentar-komentar yang berani: mencaplok Kanada, membeli Greenland, dan memulihkan Terusan Panama. Komentar tersebut memicu pernyataan balasan dari pemerintah, humor di internet, dan bahkan beberapa analisis yang bijaksana.
Meskipun sebagian besar pengamat mengabaikan seruan ini sebagai upaya untuk secara psikologis menggoyahkan mitra negosiasi – sebuah asumsi yang didukung oleh keluhan Trump tentang pembelian energi Eropa Barat dari Amerika Serikat – namun masih ada tingkat yang lebih dalam yang perlu dieksplorasi. Di luar nilai hiburan (dan jujur saja, kita semua memerlukan berita ringan di tengah ketegangan global), provokasi Trump mungkin hanya bisa menegaskan hal yang lebih besar: kedaulatan negara bukan lagi konsep yang tidak bisa dipatahkan seperti yang selama ini kita yakini.
Di dunia di mana kekuasaan semakin bertumpu pada kekuatan militer, kedaulatan telah bergeser dari status formal menjadi persoalan kontrol yang praktis. Saat ini, rasanya tidak masuk akal membayangkan Kanada, Greenland, atau Meksiko sebagai bagian dari Amerika Serikat. Namun dalam waktu dekat, kita mungkin bertanya pada diri sendiri mengapa negara-negara yang tidak mampu mengamankan kedaulatannya sendiri harus mempertahankan kedaulatannya.
Selama berabad-abad, wilayah telah menjadi landasan politik internasional – lebih jelasnya daripada norma, aturan, atau perjanjian internasional. Sebenarnya, itu “Pelanggaran Batas” Sebuah penemuan yang relatif baru. Sepanjang sejarah, negara-negara saling berebut tanah karena tanah merupakan sumber daya utama: penting untuk peperangan, pembangunan ekonomi, dan pertumbuhan populasi. Hingga pertengahan abad ke-20, hampir setiap konflik berakhir dengan perubahan perbatasan.
Pada abad ke-20, gagasan bahwa setiap negara mempunyai hak yang melekat atas kenegaraan lahir dari dua sekutu yang tidak terduga: Bolshevik Rusia dan Presiden AS Woodrow Wilson. Keduanya ingin memecah kekaisaran – Rusia karena alasan ideologis dan Amerika untuk memperluas pengaruh mereka. Hasilnya adalah berkembangnya negara-negara yang lemah dan bergantung yang menjadi alat kebijakan luar negeri Moskow dan Washington, kedaulatan mereka tidak lebih dari sekadar alat tawar-menawar bagi para elit yang bergantung pada dukungan eksternal.
Setelah Perang Dunia II, kekuatan kolonial Eropa runtuh. Banyak negara bekas jajahan memperoleh kemerdekaan tetapi tidak mampu memperoleh kemerdekaannya sendiri, karena bergantung pada negara adidaya seperti AS atau Uni Soviet. Bahkan negara-negara besar seperti Tiongkok dan India memerlukan dukungan asing yang signifikan agar negara-negara tersebut dapat terus berjalan. Bagi negara-negara kecil, kedaulatan sering kali direduksi menjadi sebuah ritual eksekutif – yang berharga hanya karena melayani kepentingan negara-negara besar.
Dinamika ini terus berlanjut di era neoliberal. Negara-negara seperti Kanada, yang anggarannya sangat bergantung pada hubungan ekonomi dengan Amerika Serikat, menyoroti absurditas kedaulatan dalam kondisi seperti ini. Jika pembangunan suatu negara bergantung sepenuhnya pada hubungan luar negeri, lalu apa gunanya memelihara lembaga-lembaga negara?
Komentar Trump mengungkap celah dalam sistem. Mengapa Amerika Serikat harus mendukung kemerdekaan Kanada ketika kerugiannya lebih besar daripada manfaatnya? Kedaulatan, yang pernah dianggap sakral, kini semakin terlihat seperti peninggalan masa lalu – hanya berguna untuk mengambil keuntungan dari kaum elit sambil menjual kesetiaan kepada negara yang berkuasa.
Dalam lanskap global yang terus berubah ini, wilayah dan kendali sekali lagi menjadi pilar utama politik internasional. Gagasan itu “Perintah Berbasis Aturan” Sebuah fiksi menyenangkan yang akan membawa dunia menuju keadilan dan kesetaraan, namun kenyataan mempunyai rencana lain. Organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang awalnya dirancang untuk mengamankan hegemoni Barat, kini kehilangan kendali seiring munculnya kekuatan-kekuatan baru.
Membangun tatanan dunia yang adil akan memakan waktu puluhan tahun, dan hal ini hanya akan mungkin terjadi ketika negara-negara dapat menunjukkan bahwa mereka benar-benar berdaulat – mandiri dan bertanggung jawab atas keputusan mereka. Sampai saat itu tiba, kedaulatan akan terus merana hanya sebagai sebuah ritual belaka.
Trump, dengan caranya yang biasanya riuh dan provokatif, telah menunjukkan absurditas sistem yang ada saat ini. Disengaja atau tidak, dia mempertanyakan realitas material kedaulatan di abad ke-21 – dan hanya dia yang bisa melakukannya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh ‘Vzglyad‘ Diterjemahkan dan diedit oleh surat kabar dan tim RT.
Anda dapat membagikan cerita ini di media sosial: