Menurunnya Produktivitas Tiongkok: Faktor Dibalik Perlambatan Ekonomi

BEIJING: Perekonomian Tiongkok sedang menghadapi perlambatan, dengan pertumbuhan yang turun dari 6,5 persen sebelum pandemi menjadi hanya 4,6 persen saat ini, dan ada kekhawatiran bahwa angka tersebut terlalu dilebih-lebihkan. Ketika perekonomian terus mengalami stagnasi, standar hidup masih jauh di bawah standar hidup negara-negara maju, yang semakin menyoroti kesulitan ekonomi di negara ini, demikian yang dilaporkan Asia Times.
Masalah utama yang berkontribusi terhadap penurunan ini adalah menurunnya total faktor produktivitas (TFP) suatu negara, yang merupakan ukuran seberapa efisien input seperti tenaga kerja dan modal digunakan untuk menghasilkan output. Meskipun data resmi menunjukkan penurunan TFP selama satu setengah dekade terakhir, klaim ini masih bisa diperdebatkan. Terlepas dari itu, terdapat kesepakatan umum bahwa pertumbuhan produktivitas telah melambat secara signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Ekonom Paul Krugman menyebut peralihan ke sektor real estat sebagai faktor kunci dalam perlambatan ini. Setelah krisis keuangan global tahun 2008, Tiongkok mulai menggelontorkan sumber daya ke sektor real estate, sebuah industri dengan produktivitas rendah yang memperlambat produktivitas secara keseluruhan. Selain itu, analisis tahun 2022 menyoroti permasalahan struktural yang lebih luas dalam perekonomian Tiongkok, termasuk inefisiensi dalam alokasi modal dan ketergantungan yang berlebihan pada model pertumbuhan yang didorong oleh ekstraksi sumber daya. Tantangan-tantangan sistemik ini, yang sudah ada sebelum pandemi, diperburuk oleh ketegangan perdagangan, gangguan akibat COVID-19, dan dampak dari kebijakan industri agresif yang diterapkan oleh pemerintah Tiongkok.
Jika ditinjau kembali, perkiraan awal mengenai prospek ekonomi Tiongkok terlihat sangat menjanjikan. Buku Arthur Kroeber tahun 2016, China’s Economic: What Everyone Needs to Know® menggambarkan keberhasilan transisi Tiongkok dari model berbasis sumber daya ke produktivitas dan inovasi teknologi. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, optimisme ini memudar seiring dengan perjuangan negara ini untuk mempertahankan pertumbuhan produktivitas yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan. Kroeber mengakui bahwa Tiongkok menghadapi tantangan ekonomi, namun harapannya untuk beralih ke pertumbuhan yang didorong oleh efisiensi tampaknya sulit dicapai saat ini. Meskipun wawasan Kroeber mengenai federalisme fiskal, urbanisasi, dan real estat bernilai tinggi, optimismenya terhadap masa depan Tiongkok tidak sesuai dengan realitas lintasan perekonomian negara tersebut.
Alasan utama perlambatan ini adalah Tiongkok telah mencapai batas potensi pertumbuhannya. Meskipun negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan telah berhasil melakukan transisi ke negara-negara berpendapatan tinggi dengan berfokus pada kemajuan teknologi dan produktivitas, pertumbuhan Tiongkok telah melambat, begitu pula negara-negara berpendapatan menengah lainnya seperti Thailand. Sejak tahun 2011, TFP telah menurun di Tiongkok, dan beberapa laporan bahkan menunjukkan pertumbuhan negatif. Ketika Tiongkok semakin mendekati batas teknologi, akses terhadap teknologi canggih menjadi lebih menantang karena perusahaan-perusahaan di seluruh dunia melindungi inovasi mereka dengan lebih ketat.
Faktor lain yang berkontribusi terhadap perlambatan produktivitas adalah demografi Tiongkok. Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah memperoleh manfaat dari “dividen demografi”, yakni banyaknya angkatan kerja muda dengan jumlah tanggungan yang relatif sedikit. Namun, pada tahun 2010 keunggulan tersebut mulai berkurang seiring dengan menurunnya populasi usia kerja di negara tersebut. Studi menunjukkan bahwa populasi yang menua berkorelasi dengan pertumbuhan produktivitas yang lebih rendah, termasuk Tiongkok. Dengan semakin sedikitnya pekerja yang memasuki angkatan kerja dan populasi yang menua, perekonomian menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan tingkat produktivitas.
Urbanisasi, yang secara historis telah meningkatkan produktivitas Tiongkok dengan memindahkan pekerja dari pekerjaan pertanian yang selama ini kurang produktif ke pekerjaan manufaktur perkotaan yang lebih produktif, juga mulai kehilangan tenaga. Urbanisasi telah membantu Tiongkok mencapai pertumbuhan ekonomi yang pesat selama beberapa dekade, dan para ahli menyebut tahun 2010 sebagai “titik balik Lewis”, ketika surplus tenaga kerja di bidang pertanian mulai menurun. Selain itu, sistem hukou Tiongkok, yang mengatur migrasi internal, semakin membatasi manfaat urbanisasi. Perubahan demografis dan struktural ini telah menyebabkan penurunan pertumbuhan produktivitas, dan dampak negatif dari adopsi teknologi, urbanisasi, dan pertumbuhan populasi tidak cukup kuat untuk mendorong perekonomian maju pada kecepatan yang sama.
Tantangan penting lainnya yang dihadapi produktivitas Tiongkok adalah sektor penelitian dan pengembangan (R&D). Meskipun Tiongkok telah meningkatkan fokusnya pada penelitian dan pengembangan dalam beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa badan usaha milik negara (BUMN) umumnya menunjukkan produktivitas penelitian dan pengembangan yang jauh lebih rendah dibandingkan perusahaan swasta atau milik asing. Penelitian Konig dkk. (2021) menyatakan bahwa meskipun investasi penelitian dan pengembangan berkontribusi terhadap pertumbuhan produktivitas, dampaknya kecil karena masalah kesalahan alokasi sumber daya dan kesalahan klasifikasi pengeluaran sebagai “penelitian dan pengembangan”. Selain itu, ketika Tiongkok memperluas sektor penelitian universitasnya dan meningkatkan pengeluaran penelitiannya, terdapat kekhawatiran mengenai kualitas penelitian akademis Tiongkok dan kepemimpinan globalnya. Plagiarisme, pemalsuan data, dan nepotisme telah dilaporkan di komunitas ilmiah negara tersebut, yang melemahkan efektivitas penelitian dan berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas.
Pasar ekspor Tiongkok juga menghadapi kendala yang berdampak pada produktivitas negara tersebut. Teori ekonomi menyatakan bahwa persaingan global memacu inovasi, mendorong produktivitas melalui “disiplin ekspor”. Namun, sejak krisis keuangan tahun 2008, permintaan barang-barang Tiongkok melambat karena perang dagang dan kejenuhan pasar. Meskipun ekspor ke Uni Eropa meningkat, hal tersebut tidak mengimbangi penurunan di pasar lain. Selain itu, ekspor Tiongkok ke negara-negara berkembang mengalami peningkatan, namun daya beli negara-negara tersebut sangat kecil. Akibatnya, porsi ekspor Tiongkok terhadap ekspor dunia menyusut, sehingga mengurangi manfaat pertumbuhan yang didorong oleh ekspor. Peralihan dari model yang didorong oleh ekspor ke fokus pada investasi dalam negeri menghadirkan tantangan terhadap pertumbuhan produktivitas jangka panjang di negara ini, demikian yang dilaporkan Asia Times.
Rendahnya tingkat konsumsi Tiongkok juga berperan dalam tantangan produktivitasnya. Berbeda dengan Amerika Serikat, dimana konsumsi mendorong aktivitas perekonomian, perekonomian Tiongkok sangat berfokus pada investasi. Dengan konsumsi rumah tangga di Tiongkok yang hanya menyumbang 39 persen terhadap PDB, dibandingkan dengan 80 persen di AS, perusahaan hanya mempunyai sedikit insentif untuk berinovasi dan membedakan produk mereka. Rendahnya permintaan konsumen ini menyulitkan Tiongkok untuk mengembangkan produk-produk inovatif dan berkualitas tinggi yang dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, kebijakan Tiongkok pada umumnya lebih mengutamakan investasi dibandingkan konsumsi, sehingga secara tidak sengaja memperlambat produktivitas.
Pendekatan negara dalam menjaga stabilitas ekonomi juga menghambat produktivitas. Dari tahun 2008 hingga 2016, Tiongkok menggunakan pinjaman bank yang dikendalikan negara dalam jumlah besar untuk mencegah resesi, khususnya di sektor real estate. Meskipun strategi ini membantu menjaga stabilitas ekonomi, strategi ini juga menstabilkan industri dengan produktivitas rendah seperti real estate dan badan usaha milik negara. Pencairan dana yang cepat selama periode ini menyebabkan proyek-proyek tidak efisien dan ketergantungan pada sektor-sektor dengan pertumbuhan produktivitas yang terbatas. Langkah-langkah ini, meskipun efektif dalam mencegah resesi, membuat perekonomian Tiongkok semakin bergantung pada industri dengan pertumbuhan produktivitas yang rendah.
Dalam upaya mengatasi tantangan tersebut, Presiden Xi Jinping Tiongkok telah memperkenalkan inisiatif seperti Made in China 2025, yang bertujuan untuk meningkatkan industri semikonduktor dalam negeri dan mengurangi ketergantungan Tiongkok pada teknologi asing. Namun, masih belum pasti apakah strategi ini akan berhasil membalikkan perlambatan produktivitas. Selama tiga tahun terakhir, Xi menjadi lebih agresif dengan menargetkan industri-industri yang dianggap negatif, seperti konsumen internet, keuangan, video game, hiburan, dan real estat. Upayanya ditujukan untuk mengalihkan sumber daya–seperti sumber daya manusia dan modal–ke industri yang dianggap lebih selaras dengan tujuan ekonomi jangka panjang Tiongkok.
Strategi Xi mewakili perubahan dari kebijakan industri tradisional, yang biasanya berfokus pada mendukung sektor-sektor yang sukses. Sebaliknya, ia berusaha membongkar industri-industri yang dianggapnya merugikan masa depan negara. Misalnya saja, perusahaan seperti Alibaba, Tencent dan Baidu, yang pernah dianggap sebagai tulang punggung inovasi Tiongkok, kini berada di bawah pengawasan, Asia Times melaporkan.
Pergeseran ini telah menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap kewirausahaan. Pengusaha enggan memulai usaha baru jika pemerintah tiba-tiba mengubah prioritasnya atau mengambil alih perusahaan yang sukses, sehingga menciptakan lingkungan yang penuh ketidakpastian dan risiko. Meskipun pengalihan sumber daya ke sektor-sektor prioritas pada awalnya mungkin berhasil mengalihkan talenta, dampak jangka panjangnya terhadap inovasi dan kewirausahaan masih belum jelas.
Upaya Tiongkok untuk mengatasi tantangan produktivitas menghadapi hambatan yang signifikan. Meskipun pemerintah terus menerapkan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong sektor-sektor tertentu, permasalahan struktural yang lebih luas seperti perubahan demografi, inefisiensi dalam penelitian dan pengembangan, dan menurunnya permintaan ekspor masih terus terjadi. Apakah kebijakan industri Xi Jinping dapat secara efektif mengatasi tantangan-tantangan ini dan menghidupkan kembali pertumbuhan produktivitas Tiongkok masih menjadi pertanyaan terbuka, dengan banyak ahli yang menyatakan skeptis terhadap kemampuan negara tersebut untuk keluar dari stagnasi ekonomi saat ini.



Source link